Minggu, 05 September 2010

Manusia hanya satu

MANUSIA HANYA SATU
oleh Risani Syam pada 05 September 2010 jam 2:25

MANUSIA HANYA SATU

Bulan Ramadhan hampir berlalu,Idul Fitri semakin dekat
Puasa tidah hanya menahan,Puasa juga adalah penghayatan
Puasa adalah hijrah dari apa disenangi Allah SWT
Ke yang tidak disenangi Manusia
Marilah kita coba merenung makna dan arti manusia.
Barangkali disana ada HiKmah, bisa dipetik.
Sesungguhnya Manusia hanya Satu, Hanya raga banyak
Kandungan hanya satu, HAWA, Hanya tempat lahir banyak
Darah kita satu, Rasa kita Satu, Roh kita Satu,
menyatu dalam pelukan Ilahi
Walaupun tembok Cina masih ada
Tapi tembok Berlin sudah runtuh
Dulu kiblat Masjidil Aqsa masih ada
Sekarang kiblat Masjidil Haram sudah meruntuh
Meruntuhkan perbedaan
Meruntuhkan kesombongan
Menguatkan tali persaudaraan
Jangan pelihara Iblis dalam hatimu.
Jangan biarkan ada benci dihatimu
Pandanglah manusia, Hargailah manusia
Sebagaimana Allah SWT mengasihi ciptaannya
Kalaupun kita berbeda Agama, suku, dan ras
Jangan karena perbedaan itu ada rasa benci
Karena perbedaan itu Rachmat
Karena perbedaan itu indah
Karena dengan perbedaan kita saling memberi
Karena dengan perbedaan kita saling menyinta
Sebagaimana perbedaan antara laki dan wanita

Kamis, 26 Agustus 2010

" ARTI MEMBACA DAN CERDAS"

ARTI MEMBACA DAN CERDAS

Setiap individu manusia, memiliki, persepsi masing masing tentang makna suatu risalah, sesuai dengan tingkat akal pemikirannya. Dan itu merupakan hak azasi setiap manusia. Kebebasan akal pikiran maupun nalar seseorang, untuk mencermati hikmah yang terkandung dalam sebuah risalah, merupakan sebuah usaha tersendiri guna memberikan pengertian pada dirinya, dengan mendekatkan penafsiran pada bentuk cara berfikir logika.
MEMBACA, sebuah bentuk kata, yang bagi penulis memiliki bentuk risalah yang sangat penting untuk dikaji lebih jauh, sebab selama ini makna membaca, belum memiliki Definisi yang baku. Oleh karena itu, dalam pandangan kami, bahwa MEMBACA terdiri 2 (Dua) cara , yaitu,

1. Membaca gambar (Termasuk bentuk tulisan dan bentuk gambar)
2. Membaca isyarat (Termasuk membaca situasi dan perasaan)

Didalam manusia membaca, ada 3 (Tiga) bentuk bacaan, yaitu,

1. Kitab.
2. Alam semesta, beserta isinya,
3. Manusia.

Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa, salah satu jalan bagi manusia untuk mencerdaskan dirinya, adalah dengan cara banyak membaca buku. Namun kalau hanya buku sebagai pegangan bacaan, apalagi kalau tidak mampu memahami sesuatu makna yang tersirat dalam baca buku, maka tidak menutup kemungkinan manusia tersebut, bukannya, tambah cerdas, malah tambah bodoh, karena hampir seluruh buku buku yang dijual sekarang, hanya merupakan saduran atau terjemahan dari buku buku lain, secara turun temurun, bak hadits yang diriwayatkan secara turun temurun oleh perawinya, kalau diteliti secara cermat, sedikit sekali buku buku, utamanya buku ilmiah, yang merupakan hasil pemikiran murni seorang penulis, bangsa Indonesia, apalagi buku buku Agama, Dengan banyak membaca buku, tanpa mampu membaca yang lainnya, maka akan membuat manusia pintar, ibarat katak dalam tempurung. Sebab akal pemikirannya, telah dikuasai dan dibalut dengan berbagai keterangan hasil pemikiran orang lain sehingga akal pikirannya, lalu jadi beku dan tidak mampu ia kembangkan.
Berbagai fenomena kehidupan, betapa kecerdasan tidak hanya dapat diukur dari membaca buku, karena siapa yang meragukan kepintaran Dua mantan Kabulog, Dua mantan Gubernur Bank Indonesia, Gubernur, dan lain lain, kita tidak tahu berapa banyak buku yang telah dibaca, berapa puluh meter susunan buku literature yang ada padanya, namun pada kenyataannya, ia harus masuk penjara, harga diri dan martabat lalu jatuh, karena hasil perbuatan secara sadar ia lakukan, lalu kemudian kita bisa bertanya, cerdaskah mereka
Munculnya berbagai temuan teori ilmiah baru menurut zamannya, lebih banyak ditemukan dari hasil perenungan, dan penelitian, lalu hasilnya kemudian dibukukan. Sebagaimana diketahui bahwa Teori Gravitasi, yang ditemukan oleh Isaac Newton, bukan dari membaca buku, tapi dari hasil perenungan tentang fenomena Alam. Apalagi kalau tingkat kecerdasan hanya diukur dengan buku, maka lalu kita bertanya, pada ummat Islam bahwa Apakah Rasulullah Nabi Muhammad SAW, terlepas dari segalanya sebagai manusia biasa, apakah ia Cerdas ? sebab kenyataannya, ia tidak bisa membaca. Dan mengapa Rasulullah tidak bisa membaca? Bukankah kalau Allah SWT mau mengajar Nabi Muhammad SAW membaca, cukup ia berkata Kun faya kun. Mengapa Rasulullah dibiarkan begitu saja tidak bisa membaca kitab hingga akhir hayatnya.. Padahal perintah yang pertama diterima ummat Islam melalui Jibril ke Rasulullah adalah Iqra (bacalah),
Begitupula bagaimana dahulu kala orang Minagkabau, dalam awal perantauannya, katakanlah ke Jakarta, mereka merantau sebagai pengusaha, mereka banyak yang sukses, dan berhasil mewariskan kesuksesannya, pada generasi penerusnya, mereka memiliki kiat kiat dagang secara naluri, yang tidak ia dapatkan dari membaca buku, teori membuka jualan dengan istilah Pedagang Kaki Lima, diciptakan orang padang tanpa melalui membaca buku. Dan tentunya orang orang ini dapat dikatakan sebagai orang Cerdas.
Begitupula, Orang orang Bugis yang meniti buih di samudera luas, Ilmu yang didapatkan untuk menentukan arah, karang, daratan terdekat, bukan dari buku, itu ia belajar membaca fenomena Alam,
Disebuah desa, namanya Tanjung Bira, dimana perahu Phinsi dibuat, oleh orang orang Ara. Pernah kedatangan, team dari Jepang yang ingin memesan Perahu Phinisi, sambil menyodorkan gambar perencanaann lengkap dengan ukuran ukuranya, perahu yang akan dipesan, oleh kepala tukang perahu, dijawab bahwa mereka tidak bisa baca gambar, kalau anda mau pesan cukup katakan saja, berapa ton kapasitas yang diinginkan, lalu orang Jepangnya bingung, sambil bertanya, jadi selama ini anda buat perahu, tidak pernah pakai gambar, dijawab oleh kepala tukang, tidak pernah pakai gambar dikertas, karena semuanya sudah tergambar di kepala. Lalu orang Jepang manggut, sambil berkata, hebat.
Lain waktu berikutnya, Bapak Prof.Dr.Ing.B.J. Habibie, juga berkunjung, ke Tanjung Bira, ingin juga menyaksikan cara orang Ara, membuat perahu Phinisi, setelah beliau sampai disana, setelah berbincang, bincang, kemudian pak Habibie, mengukur dan menghitung Perahu PhinisI yang sedang dibuat sesuai disiplin Ilmunya. Lalu kemudian ia berkata, tidak ada satupun yang meleset dari perhitungan teknologinya. Kemudian Pak Habibie bertanya, kepada kepala tukangnya tentang pendidikannya, kemudian dijawab oleh kepala tukang bahwa SD pun tidak tammat, lalu kemudian pak Habibie merenung, sambil berkata dalam hatinya, saya tidak bisa bayangkan kecerdasan orang ini, seandainya jenjang pendidikannya seperti saya.
Dari beberapa uraian tersebut, maka kami dapat menarik kesimpulan, bahwa makna ,

MEMBACA adalah, Melihat,(Merenung,mengamati) mendengar (Mengkaji, menganalisa) , mencium (menghayati, merasakan)

Sebagaimana suku bangsa lain, dalam menetapkan ciri khas orang Cerdas, orang Bugispun, memiliki pandangan tentang ciri khas orang Cerdas sebagaimana berikut ini,

1. Naiya riasennge tau macca, iyanaritu Majeppuengngi, cappana seddie pangkaukeng. ( Artinya, Yang dimaksud dengan orang cerdas adalah orang yang mengetahui dengan betul ujung dari hasil perbuatan yang akan dilakukan)
2. Nattangnga siseng lao yolo, nagiling makkita lao rominrinna ekka seppulo sedie pangkaukeng. (Artinya, Berfikir satu kali kedepan, lalu berfikir Sepeluh kali kebelakang, apa akibat perbuatan yang akan dilakukan)
3. Bali ada napasau (artinya, Mampu menjawab setiap pertanyaan dengan tangguh
4. Molai ada naparapi (artinya, Mampu menangkap ketika ia mengejar pertanyaan)
5. Matui ada nattukenna ( Ketika ia berkata, ada manfaatnya

Sebelum mengakhiri Tulisan ini, penulis ingin mengisahkan sebuah dialog pada abad ke XIV antara seorang Raja di Wajo, dan seorang yang terkenal cendekiawan pada saat itu, yang bernama Kajao Lalido.

Raja bertanya : Apa Kesaksian terhadap sebuah Kejujuran.
Kajao, : Panggilan.
Raja : Apa kesaksian terhadap sebuah Kehormatan
Kajao : Panggilan.
Raja : Apa kesaksian terhadap sebuah Kebenaran
Kajao : Panggilan
Raja : Apa kesaksian terhadap sebuah Keberanian
Kajao : Panggilan
Raja : Apa kesaksian terhadap Panggilan itu sendiri.
Kajao : PENGABDIAN
Dialog ini sangat mendalam sekali bila kita mau menghayati, dan mendalami, untuk diimplementasikan dalam semua aspek kehidupan.

Rabu, 25 Agustus 2010

Serial KEHADIRAN ORANG BUGIS DALAM SEJARAH NUSNTARA

LIMA OPU DAENG



Kisah ini mengungkapkan ringkasan sejarah 5 orang bersaudara dalam Silsilah Kerajaan Melayu dan Kalimantan (Mempawah dan Sambas). Lima bersaudara digelar dengan nama 5 Opu Daeng, bangsawan tinggi Kerajaan Luwu’, sekarang disebut Palopo, di Sulawesi Selatan. Ke 5 Opu Daeng adalah: Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng Cellak, dan Opu Daeng Kamase. Pada tahun 1740, ayah mereka, Opu Daeng Ri Lakke, menyertai perantauan 5 Opu Daeng meninggalkan Sulawesi Selatan. Mereka menuju ke Matan, kemudian ke Riau. Sebelum sampai ke Matan, Opu Daeng Ri Lakke dengan 5 Opu Daeng mampir di Betavia (sekarang Jakarta) menemui Opu Bimbi Daeng Biyasa.

Opu Bimbi Daeng Biyasa dalah kakak Opu Daeng Ri Lakke . Dia lebih dulu meninggalkan Luwu dan tinggal di Batavia (sekarang Jakarta). Atas jasanya, oleh Himhoff, Gubernur Betavia, diberi pangkat Mayor untuk orang Bugis dan diberi perkampungan, yaitu Kampung Baru. Sampai akhir hayatnya, Opu Bimbi Daeng Biyasa tetap tinggal Betavia. Husni Thamrin, pahlawan Nasional dan Abdurrahman Saleh, yang pesawatnya ditembak Belanda di Yogyakarta, adalah keturunan Opu Bimbi Daeng Biaya.

Di Batavia, Opu Bimbi Daeng Biyasa, menyambut adik dan keponakannya dengan pesta besar-besaran. Kesenian Betawi dan Bugis sama dipergelarkan. Gubernur Batavia menyempatkan diri hadir. Tiga isteri Opu Bimbi Daeng Biyasa: Cina, Mandar dan Betawi, juga hadir dalam pesta itu.

Setelah tiga bulan di Batavia, Opu Bimbi Daeng Biyasa memberikan bantuan modal, perahu dan segala perlengkapan untuk berniaga. Maka berangkatlah Opu Daeng Ri Lakke beserta 5 Opu Daeng, ke Siantan. Di sana mereka tinggal di rumah Nakhoda Alang, nama sebenarnya Karaeng Abdul Malik, tetapi orang Siantan dan Melayu menyebutnya Kari Abdul Malik atau Nakhoda Alang, adalah seorang peniaga yang membawa dagangannya ke seluruh daerah tanah Melayu, Sumatra, dan Kalimantan. Dia berhenti karena bangkrut, dagangannya habis dirampok dilaut.
Opu Daeng Ri Lakke dengan 5 Opu Daeng merencanakan berniaga dengan Nakhoda Alang. Modal dari Opu Daeng Ri Lakke’, pengalaman dari Nakhoda Alang. Akhirnya mereka sepakat berniaga bersama. Dalam pelayaran membawa dagangan, tidak hanya sekali mereka dirampok di laut. Tetapi Opu Daeng Ri Lakke’ dan 5 Opu Daeng selalu berjaya. Terakhir, mereka berhadapan dan mengalahkan Raja Kecil, perompak laut yang terkenal dari Siak. Dan Raja Kecil inilah yang merampok Nakhoda Alang sampai bangrut. Dari pengalaman-pengalaman ini, terutama ketika mengalahkan Raja Kecil, keberaniaan dan keperkasan dan Opu Daeng Ri Lakke’ dan 5 Opu Daeng dikhabarkan dan diceritakan orang di seluruh Semenanjung Melayu, Sumatera dan Kalimantan. Kembali dari berniaga Opu Daeng Parani dinikahkan dengan anak Nakhoda Alang.
Tersebutlah Raja Chulan, bangsawan Minangkabau dan isterinya, menyabung ayam tak terkalahkan di seantero negeri. Putih Bertuah, demikian Raja Chulan menamakan ayamnya. Opu Daeng Ri Lakke dan 5 Opu Daeng mendengar khabar ini dan memutuskan melawan Raja Chulan yang saat itu berada di Kamboja. Sebelum berlayar, Opu Daeng Ri Lakke’ bersama 5 Opu Daeng, membuat 12 peti besar, kokoh dan bagus, berukuran sedepah x sedepah, diikat rantai pada perahu sebagaimana laiknya peti yang berisi barang berharga.
Di Kamboja, Opu Daeng Rilakke dengan 5 Opu Daeng menghadap Raja Kamboja dan menyampaikan keinginannya menyabung ayam dengan Raja Chulan dan memohon Raja Kamboja jadi saksi. Raja Kamboja setuju dan senang sebab selama ini, banyak rakyatnya yang bangkrut karena dikalahkan Raja Chulan.

Pada hari yang ditentukan, ramailah gelanggang penyabungan ayam yang dipersiapkan dekat pelabuhan. Karena 5 Opu Daeng tidak punya ayam sabungan, Raja Kamboja memerintahkan rakyatnya membawa ayam sabungan untuk dipilih Opu Daeng Ri Lakke dan 5 Opu Daeng. Diantara sekian banyak ayam yang disediakan, Opu Daeng Cellak, salah seorang dari 5 Opu Daeng memilih seekor ayam berbulu Kurik Emas, Patuk Kuning, dan Kaki Biru.
Sebelum ayam diadu, Raja Chulan hendak melihat isi peti taruhan. Opu Daeng Ri Lakke menolak. “Kalau Raja Chulan mau melihat dulu isi peti, berarti dia tidak percaya dan menganggap saya bohong. Di negeri kami, ini berarti saya dipermalukan (Ipakasiri). Hal seperti ini nyawa taruhannya. Daripada dipermalukan, lebih baik ayam tidak di sabung, kita saja yang berlaga.
Raja Kamboja menengahi dan menjamin keberadaan isi 12 peti Opu Daeng Ri Lakke dan sabung ayam pun dilaksanakan. Setelah beberapa lama, sayap ayam Opu Daeng Ri Lakke terkena taji ayam Raja Chulan dan terlentang di tanah, kakinya menggapai-gapai ke udara. Ayam Raja Chulan mengitari ayam Opu Daeng Ri Lakke sambil sekali-sekali menyerang. Pada kesekian kalinya menyerang, ayam Raja Chulan terkena Taji Keramat. Seketika itu ayam Raja Chulan membumbung ke udara, kemudian jatuh ke tanah, bulunya rontok dan tidak berkutik lagi. Raja Chulan kalah, malu dan meninggalkan Kamboja. Hanya pakaian melekat di badan yang dibawa. Sebelas perahu dan isinya diambil Opu Daeng Ri Lakke.
Setelah beberapa hari, Opu Daeng Ri Lakke dengan 5 Opu Daeng, kembali ke Siantan. Sebelas perahu kemenangannya diperbaiki dan dimodifikasi jadi perahu Bugis. Dan pada saat itu lahirlah anak Opu Daeng Parani, laki-laki. Daeng Ri Lakke memberi nama Daeng Kamboja, sebagai peringatan atas kemenangan mereka yang gemilang di Kamboja. Tidak berapa lama, Opu Daeng Ri Lakke wafat di Siantan
Beberapa bulan setelah Opu Daeng Ri Lakke wafat, beberapa orang utusan Sultan Muhammad Zainuddin (SMZ) dari Matan datang ke Siantan, meminta bantuan 5 Opu Daeng. Suatu malam, utusan yang membawa surat memberi penjelasan bahwa, Pangeran Agung (PA), dibantu dua orang menantunya, orang Bugis, yaitu Haji Hafis dan Daeng Mattekko, mendadak menyerang dan mengalahkan SMZ. Bersama keluarganya SMZ melarikan diri dan minta bantuan kepada Panembahan Banjar. Setelah beberapa lama
di Banjar, atas restu Panembahan Banjar, SMZ kembali ke Matan bersama pasukan Banjar yang dipimpin Panglima Perang Pantas untuk menyerang Panembahan Agung. Sementara berangkat ke Matan, SMZ mengutus beberapa orang ke Siantan, membawa surat permohonan bantuan dari 5 Opu Daeng.

Setelah berembuk, 5 Opu Daeng berangkat ke Matan membantu SMZ. Sementara itu, pasukan Banjar dan sisa pasukan SMZ dikalahkan lagi oleh pasukan PA. Panglima Perang Pantas, gugur dan pasukannya kembali ke Banjar. SMZ sendiri terkepung dalam mesjid dan mengunci diri di dalam. PA memerintahkan tidak membiarkan SMZ keluar dari Masjid. Tetapi karena SMZ orang baik yang dicintai rakyat Matan, termasuk menteri-menteri PA, diam-diam memberi makanan kepada SMZ, sehingga bisa bertahan berbulan-bulan sebelum 5 Opu Daeng datang dari Siantan.
Lima Opu Daeng sampai di Pangkalan Panembahan Agung dan bertemu Datuk Bendahara Matan, menyampaikan maksudnya hendak bertemu dengan Panembahan Agung dan kedua menantunya, orang Bugis, yaitu Haji Hafis dan Daeng Mattekko. Di depan PA, 5 Opu Daeng minta kepada PA supaya membebaskan SMZ, karena antara PA dengan SMZ masih keluarga dekat, namun PA menolak. Akhirnya 5 Opu Daeng pergi ke Matan memerangi dan mengalahkan lasykar PA, membebaskan SMZ dan membawanya ke Banjar.
Setelah sekian lama di Banjar, SMZ pamit kembali ke Matan dengan kedua isteri dan anak-anaknya, dikawal 5 Opu Daeng. Dalam perjalanan, Opu Daeng Parani melihat adiknya, Opu Daeng Manambun tertarik kepada Puteri Kesumba, anak SMZ. Sebelum sampai di Matan, rombongan berhenti di kampung Kandang Kerbau. Di sini SMZ memerintahkan pengikutnya membuat rumah dan selesai sehari. SMZ beserta anak isterinya tinggal di rumah itu.
Setelah beberapa hari, Opu Daeng Parani menemui SMZ, menanyakan kapan mereka diperkenankan terus ke Matan. SMZ tidak memberikan jawaban tegas, malah minta salah seorang dari 5 Opu Daeng, jadi menantunya. Setelah berunding diantara mereka, 5 Opu Daeng sepakat menjodohkan Opu Daeng Manambun dengan Puteri Kesumba. Beberapa hari setelah perkawinan, SMZ minta 5 Opu Daeng menyerang dan membalaskan sakit hatinya kepada PA. 5 Opu Daeng setuju dan mereka pun berangkat.
Mendengar 5 Opu Daeng datang, PA menutup pintu kota dan mengirim Haji Hafis dan Daeng Mattekko dengan pasukannya menghadapi 5 Opu Daeng. Tetapi pertarungan tidak terjadi. Daeng Mattekko dan Haji Hafis, meninggalkan Matan dan tidak kembali lagi. Satu di antara dua meriam di perahu Daeng Mattekko, diberikan kepada 5 Opu Daeng. Sesudah itu, 5 Opu Daeng dengan Anre Guru, Ponggawa, dan sekalian orang Bugis beserta pengikut SMZ menuju istana PA di kampung Matan, menangkap dan dan membawanya kampung Kandang Kerbau. SMZ membuat perkampungan khusus sebagai tempat tinggal PA dengan pasukan dan pengikut setianya. Di sanalah PA tinggal hingga akhir hayatnya.

Setelah 5 Opu Daeng dan pengikutnya tinggal di kampung Kandang Kerbau, datang utusan surat Raja Sulaiman, minta 5 Opu Daeng datang ke Riau membebaskan mereka dari cengkeraman Raja Kecil.
Raja Kecil yang bertahta di Siak, - cerita utusan itu - menyerang dan menduduki Johor karena dendam. Dahulu, kata utusan itu, Raja Kecil meperisterikan Tengku Kamariah, disebut juga Tengku Busu, anak Raja Johor. Setelah beberapa bulan, tersebar isu bahwa Raja Kecil adalah anak jadah. Karena itu, Raja Johor dan semua saudara Tengku Busu sepakat mengambil Tengku Busu. Raja Kecil tidak berdaya, hingga ia kembali ke Siak dengan rasa dendam.

Sebenarnya, cerita utusan itu lagi, dendam Raja Kecil terlampiaskan berkat bantuan Datuk Bendahara, yang merasa dirinya pewaris tahta yang sebenarnya, bukan Raja Abdul Jalil, ayahanda Raja Sulaiman. Karena itu, Datuk Bendahara berkirim surat kepada Raja Kecil supaya menyerang Johor dan ia berjanji akan memberikan bantuan dari dalam.
Raja Abdul Jalil, ayahanda Raja Sulaiman, tidak berdaya menahan serangan Raja Kecil, ia mengundurkan diri ke Kuala Pahang dan tinggal di sana beserta anak-anaknya. Raja Kecil memerintahkan Laksamana Nakhoda Sekam menyusul dan menawan Raja Abdul Jalil. Dalam perjalanan ke Raja Abdul Jalil di atas perahu bersama keluarganya untuk dibawa kembali ke Johor sesuai dengan perintah Raja Kecil, muncul Mas Raden membawa surat perintah Raja Kecil. Dengan berat hati Laksamana Nakhoda Sekam melaksanakan perintah Raja Kecik. Keesokan harinya, selesai sembahyang Subuh, sementara masih duduk di atas sajadah, Laksamana Nakhoda Sekam menebas leher Raja Abdul Jalil.. Kepalanya terpisah dari tubuhnya dan tergeletak di atas tikar sembahyan

Di perahu lain, pasukan Laksamana Nakhoda Sekam menyerang anak-anak Raja Abdul Jalil, yaitu Raja Sulaiman, Tengku Busu (isteri Raja Kecil), Tengku
Tengah, Raja Abdul Rachman, dan Raja Muhammad. Tengku Tengah sempat melawan, tetapi tidak berarti. Akhirnya mereka kalah dan diikat, Perhiasan mereka dirampas. Hampir sehari setelah mereka diikat, datanglah Raja Kecil dari Johor, dan melepaskan Tengku Busu, istrinya. Jenasah Raja Abdul Jalil di makamkan di Kuala Pahang. Setelah itu, Raja Kecil memutuskan tinggal di Riau dan memerintah kerajaan Johor dari Riau.

Di Riau, Raja Sulaiman, Tengku Tengah, dan saudaranya yang lain, kecuali Tengku Busu, ditempatkan di istana tersendiri, namun mereka tidak lagi punya hak dan wewenang sebagai anak raja, sehingga mereka merasa sebagai tawanan. Setelah beberapa lama di Riau, Raja Kecil memutuskan kembali dan tinggal di Siak, sementara Riau tetap di bawah kekuasaannya.

Sebelum Raja Kecil mengambil keputusan kembali ke Siak, karena merasa berjasa, Datuk Bendahara mohon kepada Raja Kecil supaya dirinya diangkat sebagai Raja Johor, berkedudukan di Riau, tetapi Raja Kecil menolak. Datuk Bendahara kecewa. Didekatinya Raja Sulaiman dan menyarakan menghubungi 5 Opu Daeng yang tersohor keberanian dan ketangguhannya, untuk menyerang dan mengusir Raja Kecil, sebelum kembali ke Siak

Secara rahasia, 5 Opun Daeng mendarat di Riau dan bertemu Raja Sulaiman di kediamannya. Raja Sulaiman menceritakan bagaimana Raja Kecil menyerang dan menjajah Johor dari Riau. Semua lambang kebesaran negeri seperti bedil Lela Majnun, Kendaga Emas, Periuk Emas, dan semua barang-barang berharga dibawa ke Siak.
Raja Sulaiman minta kepada 5 Opu Daeng, mengambil kembali kerajaan Riau dari tangan Raja Kecil. Segala rampasan perang akan diberikan kepada 5 Opu Daeng. Tetapi mereka tidak setuju. Mereka minta, kalau menang, salah seorang di antara mereka diangkat jadi Yang Dipertuan Muda Riau. Raja Sulaiman dan 5 Opu Daeng sepakat. Setelah kesepakatan itu, 5 Opu Daeng pergi ke Selangor mengumpulkan orang-orang Bugis, Makassar, dan Mandar karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang bukan hanya banyak, tetapi juga berani dan punya keahlian berkelahi.
Pada saat Raja Kecil akan berlayar ke Siak, 5 Opu Daeng beserta pasukan dan orang kepercayaannya sampai di Riau dengan 7 perahu besar bersenjatakan
meriam dan bedil. Raja Kecil menyongsong perahu-perahu 5 Opu Daeng di Pengujan. Setelah bertempur sehari semalam, Raja Kecil terdesak dan mundur hingga berpangkalan di Pulau Bayan. Sementara itu, orang Bugis menyerang terus sambil berpangkalan di Tanjung Pinang. 5 Opu Daeng merebut Pulau Bayan setelah bertempur lagi dua hari dua malam dan Raja Kecil melarikan diri ke Linggi.
Setelah beberapa bulan, 5 Opu Daeng mengantar Opu Daeng Manambun ke Matan. Raja Sulaiman sendiri, sepeninggal 5 Opu Daeng, berangkat ke Johor.
Mendengar 5 Opu Daeng dan Raja Sulaiman tidak ada di Riau, Raja Kecil berlayar ke Riau. Dalam pelayaran, dia bertemu dengan perahu-perahu pedagang Bugis (Jenis Paddewakkan). Raja Kecil menyerang perahu itu, kemudian dirampasnya dan dibawa masuk ke Riau, lalu diubah-bentuk menjadi kapal perang.
Mendengar Raja Kecil kembali ke Riau, 5 Opu Daeng mempersiapkan kekuatan dan menyiasati situasi. Kesimpulan mereka, kalau mereka menyerang Riau, kemungkinan besar orang Linggi datang membantu Raja Kecil. Sebaliknya, kalau mereka meyerang Linggi, kemungkinan besar Raja Kecil datang membantu. Kalau ini terjadi, berarti 5 Opu Daeng bisa melawan Raja Kecil dan orang Linggi sekaligus, tanpa ke Riau. Dugaan 5 Opu Daeng tidak meleset. Raja Kecil datag dengan kekuatan besar dan segera membangun kubu-kubu di darat, sementara sebagian pasukannya ditempatkan di perahu. 5 Opu Daeng membiarkan saja sebab, dengan demikian kekuatan Raja Kecil terbagi dua, di darat dan di laut.

Perang laut dan darat berlangsung setelah kubu Raja Kecil rampung. 2 orang Opu Daeng memimpin kubu darat, 3 orang Opu Daeng lainnya memimpin peperangan di laut. Kubu darat 2 Opu Daeng hanya menembak sekali-sekali seperti orang ketakutan, sehingga pasukan laut Raja Kecil merasa tidak perlu membantu pasukan daratnya dan orang Linggi.

Sebaliknya kekuatan laut 3 Opu Daeng mengobarkan perang laut dengan
gigih sembari mundur ke tengah laut. Menjelang malam, pasukan laut 3 Opu Daeng sudah berada jauh di tengah laut dan diikuti pasukan laut Raja Kecil. Sesuai dengan rencana, 3 Opu Daeng menghentikan perlawanan dan mengibarkan semua layar menuju ke arah daratan Riau. Dan sesuai pula dengan rencana, pada saat itu, pasukan darat 2 Opu Daeng meningkatkan perlawanan.

Melihat pasukan laut 3 Opu Daeng berlayar ke Riau, dan pasukan darat meningkatkan perlawanan, Raja Kecil sadar terperangkap tipu daya. Tapi laut telah diselimuti kegelapan, tidak mungkin lagi mengejar. Sebaliknya, menghadapi serangan 2 Opu Daeng di darat semakin gencar dan nekat, sementara pasukan laut Raja Kecil jauh di laut, Orang-orang Linggi kehilangan semangat sehingga mudah dikalahkan.

Keesokan harinya, barulah Raja Kecil tahu bahwa orang Linggi dan orang Siak di darat dan di pantai dikalahkan orang Bugis. Perahu yang dikiranya mundur karena terdesak serangan, ternyata pergi ke Riau dan mengalahkan pasukannya di sana tanpa perlawanan berarti. Untuk keselamatan keluarga mereka di Riau, dan atas nasihat para menterinya, Raja Kecil kembali ke Siak, dan orang Linggi menyerahkan diri kepada pasukan 2 Opu Daeng.
Tiga Opu Daeng sampai di Riau malam hari. Keesokannya, orang-orang Riau dan pasukan Raja Kecil yang tidak berapa besar, gempar dan gentar melihat perahu 3 Opu Daeng berada di pantai, sehingga dengan mudah dikalahkan. Bersamaan dengan itu, datang juga Raja Sulaiman dari Pahang.

Lima Opu Daeng menghadap Raja Sulaiman dan melaporkan kemenangannya. Raja Sulaiman memerintahkan 5 Opu Daeng menyerang Siak untuk mengambil semua pusaka dan simbol-simbol kebesaran Kerajaan Johor yang dibawa Raja Kecil ke Siak. Sementara itu di Siak, Raja Kecil mempersiapkan kekuatan untuk menyerang .Dari jauh perahu 5 Opu Daeng terlihat dari daratan Siak. Penduduk jadi gempar, Raja Kecil tidak menyangka orang Bugis berani dan secepat itu menyerang sampai ke Siak. Orang-orang Bugis yang ada di Siak, berpihak kepada 5 Opu Daeng yang dikenalnya sebagai bangsawan mereka.

Setelah berperang beberapa jam, Raja Siak mundur ke pedalaman bersama isteri dan anak-anaknya, membawa harta bendanya yang berharga. Sambil berlari, ia dan sisa pasukannya masih berusaha melawan. Tetapi 5 Opu Daeng dan orang “Bugis Siak” mengejar terus sambil mengamuk. Satu persatu orang kuat Raja Kecil terbunuh. Untuk meringankan bebannya, meskipun dengan rasa sayang, Raja Kecil memerintahkan membuang sedikit demi sedikit harta berharga seperti emas, ringgit, dan berbagai perhiasan. Orang “Bugis Siak” yang mengejar Raja Kecil, lebih mengutamakan memungut barang buangan ketimbang mengejar, sehingga Raja Kecil berhasil meloloskan diri ke dalam hutan.

Setelah Raja Kecil masuk hutan dengan pasukannya yang sudah tidak berdaya, 5 Opu Daeng mengumpulkan semua simbol-simbol kebesaran dan pusaka Kerajaan Johor yang dirampas Raja Kecil, untuk dibawa ke Riau.

Lima Opu Daeng dikawal Anrong Guru dan Ponggawa-ponggawa sampai di istana. Raja Sulaiman menyambut kemenangan 5 Opu Daeng dan menyatakan akan menepati janjinya, mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi Yang Dipertuan Muda Riau. Ihwal siapa orangnya, diserahkan kepada 5 Opu Daeng.

Awalnya, Raja Sulaiman menunjuk Opu Daeng Parani. Tetapi dia .menolak dan menyarankan kepada Raja Sulaiman untuk memilih salah seorang diantara tiga orang adiknya yaitu Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cellak, dan Opu Daeng Kamase, karena Opu Daeng Manambung sudah jadi menantu Raja Menpawah atau Matan.

Setelah berembuk dengan Opu Daeng Parani, Raja Sulaiman mengambil beberapa keputusan yaitu, Opu Daeng Marewah yang akan jadi Yang Dipertuan Muda. Sebelum Opu Daeng Marewah dilantik, Opu Daeng Cellak akan dinikahkan dengan adik Raja Sulaiman yang bernama Tengku Mandak dan Opu Daeng Parani akan dinikahkan dengan Tengku Tengah Sementara persiapan upacara pernikahan, pelantikan Opu Daeng Marewah dilaksanakan. Daeng Marewah diiringi saudara-saudaranya memasuki ruangan, dipandu Datuk Bendahara menghadap Raja Sulaiman yang duduk di singgasana. Sebelum dilantik, Opu Daeng Marewah mangaru’ (menyatakan tekad), kemudian disusul saudara-saudaranya, menyatakan janji setia akan menjalankan kewajibannya membela dan membantu raja membawa rakyat Riau kepada keamanan dan kemakmuran.

Setelah dilantik, Opu Daeng Marewah menyatakan bahwa mulai hari itu, Raja Sulaiman bergelar Badrul Alamsyah, sebagai raja yang akan memerintah Johor dan Pahang dari Riau, dengan segala daerah taklukannya. Sesudah itu, Datuk Tumenggung, Indra Bungsu dan petinggi-petinggi lainnya menjunjung duli.

Pada akhir upacara utama, Opu Daeng Marewah dan Raja Sulaiman bergantian mengucapkan sumpah sambil menjunjung Qur’an.
Beberapa hari setelah pernikahan Opu Daeng Parani dengan Tengku Tengah dilangsukan, pernikahan Opu Daeng Cellak pun dipersiapkan. Opu Daeng Cellak di jemput ke istana. Sejak persiapan sampai hari pernikahan berlangsung, meriam ditembakkan pada subuh dan petang hari sebanyak 16 kali oleh Panglima Dalam. Opu Daeng Cellak diberi kain Dulung untuk berganti pakaian 3 x sehari. Sementara itu, Tengku Mandak dilangir, dipakaikan subang, gelang, intan besar-besar, dan pakaian yang indah-indah di istana.

Permainan rakyat Melayu dan Bugis digelar. Laki-laki berjoget Jambi, orang Cina bermain Topeng cara Jawa. Dan khusus petang hari, orang Bugis bersepak (Bhs Bugis: Massempe’) dan pada malam harinya, ada Wayang Jawa. Makanan dan minuman diedarkan cuma-cuma. Bangsawan dan orang-orang penting memenuhi balairung yang diwarnai tata cara dan adat istiadat perkawinan bangsawan Melayu. Maka diajarlah Opu Daeng Cellak berpakaian pengantin cara Melayu, yaitu dokoh bersama gelang, keroncong sayap sandang pending dan dastar panjang. Daeng Cellak tidak dilarang memakai pakaian adat Bugis, sepanjang tidak bertentangan adat Melayu

Setelah Opu Daeng Cellak mengenakan pakaian pengantin bangsawan Melayu, muncullah Baginda Raja Sulaiman mengunjungi Opu Daeng Cellak, bersama Opu Daeng Marewa, Daeng Parani, Daeng Manambung, Daeng Kamase, dan Daeng Manompo, diiringi pejabat-pejabat tinggi Melayu. Dan pada saat itu, Opu Daeng Cellak jadi sasaran olok-olok. Sementara itu di istana, pengantin wanita berkhitan dan berinai, sesuai adat istiadat raja-raja besar dalam bernikah. Sebagaimana Opu Daeng Cellak, Tun Mandak juga diperolok olokkan oleh wanita-wanita, isteri petinggi di Istana.

Kesokan harinya, Opu Daeng Cellak diusung ke rumah pengantin wanita, dipayungi obor-obor delapan dengan bunyi nafiri tiga kali. Di depan usungan, berdiri petinggi yang diiringi Tun-tun Muda. Didepan usungan, berdiri Opu Daeng Kamase dan Tumenggung sebelah menyebelah. Setelah itu usungan diangkat dan diarak keliling kota, diiringi kelong-kelong cara Bugis, dan gemuruh suara rebana, bergantian dengan zikir yang dilantukan ratusan pengiring.

Di istana, mempelai wanita dikelilingi orang-orang besar, anak-anak bangsawan, isteri-isetri dan keluarga petinggi. Mempelai didudukkan diatas permadani, disuatu ruangan raja-raja. Kemudian, usungan tiba di istana, disambut bangsawan-bangsawan. Opu Daeng Cellak dibimbing menaiki istana. Di pintu, ia disambut Raja Sulaiman untuk kemudian membimbingnya ke dalam istana. Selesai dinikahkan, sebelum dibimbing ke pelaminan, kedua mempelai lebih dulu bersantap nasi adap-adapan, Pada saat ini, pantun pun bersahut-sahutan. Dn sementara pantun-pantun berlangsung, Raja Sulaiman meninggalkan ruang pelaminan menuju tempat perjamuan raja-raja dan undangan.

Beberapa saat kemudian, masuklah Tun Tipah ke ruangan pelaminan lalu menggoda pengantin wanita. “Apa kenanya Anakda berkerudung”, seraya membuka kerudung penantin. Sesudah itu Tun Tipah merapatkan jarak duduk kedua mempelai yang tadinya agak renggang sambil berkata pula, “Janganlah Ananda pongah, duduk renggang dari suami dan membelakangi pula. Tanggalkanlah pakaian yang berabe itu, biar lega Ananda” Sesudah itu, Tun Tipah mengambil tempat duduk dekat bangsawan-bangsawan wanita lainnya di ruangan itu.

Melihat itu, Opu Daeng Cellak hendak beranjak dari pelaminan dan turun sejajar dengan tempat duduk Tun Tipah, tetapi niat itu dicegah Tun Tipah. Tengku Mandak juga hendak beranjak duduk di permadani seperti Tun Tipah. Tapi Tun Tipah, menggoda lagi. “Hendak ke mana pula budak ini mengikut kita, tidak berani aku membawanya. Dia isteri orang, kalau suaminya berang, teruklah kita. Demikianlah malam itu, pesta kawin berlangsung dengan ceria, ditandai olok-olok, bunyi-bunyian, pantun, dan berbagai permainan rakyat. Setelah tujuh hari, upacara memandikan pengantin dilakukan sebagaimana adat raja-raja. Acara berlangsung seharian. Balairung pun penuh lagi dengan para bangsawan, petinggi, dan isteri-isteri mereka. Sesudah itu, dilangsungkan lagi upacara pemasangan kelambu.
Setelah beberapa lama, Daeng Parani pamit pada Tengku Tengah dan Raja Sulaiman hendak pergi ke Selangor. Di sana, Opu Daeng Parani menikah dengan anak Yang Tuan Selangor dan dianugerahi seorang anak perempuan. Sementara di Selangor, datang utusan membawa surat Raja Kedah, minta bantuan 5 Opu Daeng. Dijelaskan, Raja Kedah berselisih dengan adiknya. Sebagai anak tertua, Raja Kedah pewaris tahta, tetapi adiknya merampas hak itu, tanpa restu dari ayah mereka.

Setelah menerima surat, Opu Daeng Parani kembali ke Riau dan merundingkan dengan adik-adiknya, termasuk Yang Dipertuan Muda Riau akan permintaan bantuan Raja Kedah itu. Seminggu setelah 5 Opu Daeng sepakat membantu Raja Kedah, berangkatlah mereka ke Kedah.

Raja Kedah menyambut 5 Opu Daeng dan segera mengadakan kesepakatan. Raja Kedah akan memeberi lima bahar ringgit, kalau berhasil. 5 Opu Daeng setuju.

Semua orang Bugis, Mandar dan Makassar yang ada di Kedah, berada di bawah perintah 5 Opu Daeng. Raja Kedah setuju. Setelah kesepakatan tercapai, 5 Opu Daeng mohon Raja Kedah Tua melantik anak sulungnya jadi raja. Karena selama ini Raja Kedah Tua belum melantik salah seorang di antara anaknya, Raja Kedah Tua setuju dan melantik anak laki-lakinya yang tertua jadi Yang Dipertuan Kedah.

Adik Raja Kedah, murka dan mengerahkan pasukannya memerangi kakaknya yang sudah dilantik jadi Raja Kedah. Terjadilah peperangan antara Raja Kedah dengan adiknya. Sementara itu 5 Opu Daeng dan pasukannya belum melibatkan diri dalam peperangan. Setelah peperangan berlangsung sebulan, tetapi belum ada yang menang, barulah 5 Opu Daeng dan pasukannya terjun berperang. Dalam
waktu sehari, 5 Opu Daeng memenangkan peperangan. Adik Raja Kedah tidak menyangka pasukannya kalah dalam waktu secepat itu, sehingga tidak sempat lagi membawa keluarganya melarikan diri.

Sesuai dengan perjanjian, orang Bugis, Mandar, dan Makassar penduduk Kedah, mendapat harta rampasan. Dan saat itu, 5 Opu Daeng baru menerima 3 bahar ringgit, sisanya akan dibayar kemudian. 5 Opu Daeng membagi-bagikan 3 bahar ringgit itu kepada orang Bugis, Mandar, dan Makassar penduduk Kedah yang membantu peperangan. Sebagai tanda terima kasih, Raja Kedah menikahkan Opu Daeng Parani dengan salah seorang adik perempuannya. Sesudah isterinya melahirkan satu anak perempuan, pamitlah Opu Daeng Parani dengan 4 Opu Daeng lainnya kembali ke Riau.

Di Riau, 5 Opu Daeng menemui Raja Sulaiaman, lalu kembali ke rumah masing-masing. Opu Daeng Marewa atau Yang Dipertuan Muda Riau disambut isterinya, Encik Ayu -anak Tumenggung- serta para pelayan dan kerabat kerajaan sebagai pemenang perang. Opu Daeng Cellak pulang mendapatkan isterinya, sementara Tengku Puan tetap tinggal di rumah Raja Sulaiman, karena mereka masih serumah. Opu Daeng Manambung dan Opu Daeng Kamase ke rumah Opu Daeng Parani dan disambut Tengku Tengah.

Raja Kecil datang ke Kedah dan menghasut adik Raja Kedah merebut kembali tahta yang direbut kakaknya atas bantuan 5 Opu Daeng. Sebaliknya, 5 Opu Daeng memutuskan untuk menyerang Raja Kecil di Kedah. Menurutnya, kalau Raja Kecil menang dan mempengaruhi adik Raja Kedah, akan membahayakan Riau. Dengan pertimbangan itu, mereka mendapat restu dari Raja Sulaiman. Pada hari yang ditentukan, berlayarlah 5 Opu Daeng ke Kedah.

Menurut pengalaman Raja Kecil, orang Bugis suka berkelahi jarak dekat. Untuk menghindari itu, dibangun kubu-kubu dan ditempatkan bedil dan meriam Lela Rentak untuk menahan 5 Opu Daeng mendekat. Kalau mereka nekat dan mendekat juga, pasukan Raja Kecil akan masuk ke dalam kubu dan bertahan di dalam. Sementara membangun kubu dan mengatur perlawanan, Raja Kecil dinikahkan pula dengan adik dari Raja Kedah. Berarti adik dari isteri Daeng Parani.

Sesampai di Kedah, 5 Opu Daeng mengusulkan kepada Raja Kedah agar berdamai dengan adiknya sebab, di antara sekian banyak jenis peperangan, yang paling celaka adalah peperangan senjata karena mematikan orang. Dan orang yang mati tidak bisa dihidupkan kembali. Raja Kedah setuju. Maka 5 Opu Daeng mengirim surat kepada Raja Kecil supaya dua kakak beradik itu didamaikan saja, karena kalau mereka berperang, berarti perang saudara akan terjadi diatas negeri mereka berdua. Rakyat akan susah mencari penghidupan. Raja Kecil menolak. “Katakan kepada Tuanmu yang orang Bugis itu, saya menolak gagasannya. Kalau takut makan limau manis negeri Siak, mengapa datang ke mari”, kata Raja Kecil kepada pembawa surat.

Perang tidak terhindarkan. Kadang tiap hari, kadang sekali seminggu dan kadang sekali sebulan. Tergantung gendrang peperangan. Apabila gendang peperangan ditabuh, barulah mereka keluar dari kubu masing-masing dan berperang. Menjelang magrib, gendang ditabuh lagi dan peperangan dihentikan. Semua beristirahat dan tidak boleh ada peperangan. Setelah peperangan berlang sung dua tahun, rakyat Kedah dan Riau gelisah. Penghidupan kian susah karena ulah raja mereka kakak beradik, padahal bisa dihentikan kalau mereka mau memperhatikan nasib rakyat. Beberapa di antara pemuka masyarakat datang menghadap dan memohon kepada Opu Daeng Parani dan 5 Opu Daeng lainnya supaya peperangan dihentikan.

5 Opu Daeng menyadari keluhan masyarakat, lalu mengirim lagi surat kepada Raja Kecil. “Telah cukup lama kita menyiksa pasukan kita, berpisah dengan isteri dan anaknya. Telah banyak nyawa yang melayang, telah banyak rakyat jatuh miskin. Supaya perang ini cepat selesai, sebaiknya kita bertikaman langsung, seorang lawan seorang. Kalau tidak, sampai sepuluh tahun lagi peperangan tidak akan berakhir“

Sebenarnya, dalam hati kecilnya, Raja Kecil takut, tetapi malu menolak tantangan itu. Terpaksa ia membalas surat Opu Daeng Parani. “Kalau Adinda menghendaki itu, datanglah“. Setelah surat balasan terkirim, Raja Kecil mengatur siasat.
Setelah menerima surat itu, 5 Opu Daeng dan pengikutnya mendekati kubu Raja Kecil dan mengamuk. Perang jarak dekat terjadi lagi. Setelah beberapa saat, pasukan Raja Kecil lari masuk ke dalam kubunya, sementara yang berada dalam kubu menembaki orang Bugis. Tetapi Orang Bugis tidak lari kembali ke kubunya, mereka bertiarap dekat kubu pasukan Raja Kecil, menunggu kesempatan. Tatkala pasukan Raja Kecil mengisi peluru, mereka menyerang.
Melihat kenyataan ini, Raja Kecil memerintahkan salah seorang Panglimanya, Daeng Yahya, orang Makassar, memimpin perang jarak dekat. Keesokan harinya, Daeng Yahya dan beberapa orang pemberani menyongsong ke tengah lapangan, demikian juga Anre Guru dan 5 Opu Daeng. Mereka pun bertikaman di tengah lapangan. Banyaklah pasukan Daeng Yahya yang mati. Sedangkan orang Bugis, susah dibunuh karena memakai baju rantai. Maka larilah Daeng Yahya dengan pasukannya kembali ke kubunya. Dan orang Bugis juga kembali ke kubu mereka.

Melihat kejadian itu, Raja Kecil menentukan taktik lain. Aturan perang tidak lagi diindahkan. Pada malam harinya, Daeng Yahya dan beberapa orang pemberani, diam-diam menyerbu orang Bugis yang sedang tidur di kubu mereka. Diserang dalam keadaan tidur dan gelap, orang Bugis kaget dan menikam membabi buta, sehingga banyak yang menikam kawannya sendiri

Mendengar ribut-ribut dalam kubu, orang Bugis yang berjaga di luar, masuk ke dalam kubu dan menyerang Daeng Yahya. Mendapat serangan dari luar, Daeng Yahya segera melompat ke kubu orang Bugis di sebelahnya. Tetapi orang Bugis dalam kubu itu telah terjaga dan menyambut dengan berbagai senjata, Daeng Yahya sempat terkena tikam. Dengan berlumuran darah, ia dan pengikutnya lari kembali ke kubu mereka. Empat orang pemberaninya ditangkap orang Bugis. Kepala mereka dipotong dan di pertontonkan di tengah lapangan.

Raja Kecil sakit hati melihat kepala anak buahnya dipertontonkan dan mencari taktik lain. Tetapi, sebelum menemukan taktik, 5 Opu Daeng turun langsung ke kancah peperangan membalas keculasan Raja Kecil dan menyerang langsung, juga pada malam hari.

Diserang mendadak, pasukan Raja Kecil kacau balau. Raja Kecil sendiri terdesak dan melompat ke sungai menyelamatkan diri, pengikat kepalanya terjatuh dalam kubu dan tidak sempat lagi diambilnya.

Orang Bugis mengejar terus sambil menombak dalam kegelapan, paha Raja Kecil terkena tombak. Meski kesakitan, dia tidak berani berteriak. Panglima Dalkam terkena juga, tetapi tidak sanggup menahan rasa sakit dan berteriak, sehingga orang Bugis memperlancar tusukan tombak ke arah teriakan itu. Raja Kecil berenang dalam kegelapan, dikejar tombak orang Bugis. Untunglah Raja Kecil menemukan batang hanyut sehingga ia bisa bergantung, berlindung dan berenang sampai ke seberang.
Karena ikat kepalnya tertinggal, Raja Kecil malu dan menjanjikan akan menjadikan orang besar kepada siapa saja yang menemukan dan mengembalikan ikat kepalanya. Pada subuh hari itu juga, karena janji Raja Kecil, dengan pasukan yang lebih banyak, Daeng Yahya kembali menyerbu kubu orang Bugis.

Karena orang Bugis tidak menduga sama sekali ada penyerbuan secepat itu, tidak ada yang berjaga-jaga di kubu musuh yang telah di kuasainya. Bahkan sebagian besar sudah kembali ke kubu masing-masing, Daeng Yahya bersama pasukannya dengan mudah menguasai kembali kubu mereka dan berhasil menemukan ikat kepala Raja Kecil. Setelah diserahkan kepada Raja Kecil, Daeng Yahya dihadiahkan pakaian bagus dan dilantik menjadi orang besar.
Raja Kecil terus berfikir bagaimana melawan 5 Opu Daeng. Bertikaman, dia tidak berani. Memberanikamn diri telah dicobanya, tapi akibatnya lebih parah, hampir saja ikat kepalanya ketinggalan. Andaikata ikat kepala itu jatuh ke tangan 5 Opu Daeng, berarti ia mendapat aib yang tidak ada tara, nilainya hampir sama dengan kehilangan mahkota. Berperang dari jarak jauh, juga susah karena orang Bugis selalu berusaha maju dan berhasil mendekat.

Setelah beberapa hari menyendiri, merenung, dan terkadang marah-marah tiada juntrungannya, Raja Kecil memerintahkan memasang kuda-kuda penyanggah bedil. Sesudah bedil dipasang, semua anak buahnya diperintahkan keluar dan kembali ke kubu masing-masing. Pasukannya, termasuk orang dekatnya, tidak mengerti apa yang akan diperbuat Raja Kecil, tetapi tidak ada yang berani bertanya.
Seperti biasanya, pulang dari pertempuran, 5 Opu Daeng melewati rumah Raja Kecil. Pada hari itu, ketika perahu lewat, Raja Kecil menembak Opu Daeng Parani. Peluru bersarang di dadanya dan menyemburkan darah hingga melumuri seluruh tubuhnya. Opu Daeng Cellak merangkul kakaknya, tetapi Opu Daeng Parani, sudah tidak sempat berkata apa-apa. Dia hanya mampu memandangi wajah adiknya satu persatu dengan pandangan sayu dan senyum lemah, sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Melihat kakaknya tidak tertolong, adik-adik Opu Daeng Parani dan semua orang Bugis, serentak menyerbu rumah Raja Kecil dan seluruh isi kampung. umah-rumah dibakar, dan semua orang yang sempat didekati, menjadi sasaran badik atau tombak mereka. Raja Kecil dengan pasukan dan orang dekatnya ketakutan melihat orang Bugis mengamuk seperti kesetanan. Mereka segera melarikan diri masuk ke dalam hutan lalu menyeberang ke Siak. Setelah memakamkan jenasah Opu Daeng Parani, 5 Opu Daeng, yang tinggal empat orang, kembali ke Riau.
Delapan tahun kemudian, Raja Kecil kembali iri hati melihat perkembangan dan kemakmuran Riau. Ia lalu mengatur siasat untuk kembali dan menguasai Riau. Paling tidak, mengacaukan keamanan.

Pada tahun 1136 Hijriah, Raja Kecil dengan ratusan pasukannya, 25 di antaranya terkenal bengis, sampai di Riau. Sebelum mendarat, Raja Kecil mengirim utusan mohon izin masuk ke Riau, untuk menemui isterinya.
Raja Sulaiman berunding dengan Yang Tuan Muda Opu Daeng Marewah dan Opu Daeng Kamase.
Mereka tidak menolak.
“Kita tidak boleh melarang orang bertemu dengan keluarganya. Apalagi, tidak ada alasan untuk takut kepada Raja Kecil. Kejantanannya kita tahu hanya sampai di mana” kata Yang Tuan Muda Opu Daeng Marewah.
“Peperangan tidak boleh menghilangkan kejantanan. Dendam perang, bukan dendam pribadi dan dilampiaskan dalam peperangan juga. Kalau kita monolak kedatangannya, dia bisa menganggap dendam perang, kita jadikan dendam pribadi atas kematian kakak kita Opu Daeng Parani, atau menganggap kita takut padanya. Padahal, saya sanggup bertikaman dalam satu sarung melawan dia“ kata Opu Daeng Cellak.

Setelah diizinkan, Raja Kecil langsung menemui Raja Sulaiman, Yang Tuan Muda dan Opu Daeng Cellak di istana. Sesudah itu, ia menemui isterinya di rumah Opu Daeng Cellak karena istrinya adalah adik istri Opu Daeng Cellak dan mereka serumah.
Sejak kedatangan orang Siak di Riau, keributan berdarah sering terjadi, bahkan sampai ada yang mati antara kedua belah pihak. Yang Tuan Muda Opu Daeng Marewah mengeluarkan perintah melarang orang Siak masuk ke dalam Riau. Raja Kecil disuruh menyampaikan juga perintah yang sama kepada pasukannya. Tetapi orang Siak tidak patuh sepenuhnya. Mereka masih sering masuk sembunyi-sembunyi ke Riau, sehingga masih sering terjadi keributan berdarah. Terkadang orang Bugis, dan terkadang orang Siak yang mati.

Diam-diam, atas perintah Raja Kecil, orang Siak membangun kubu-kubu pertahanan. Yang Tuan Muda Opu Daeng Marewah, memanggil Raja Kecil dan menanyakan maksud pembuatan kubu.

“Orang Siak membangun kubu karena takut diserbu orang Bugis,” begitu alasan Raja Kecil. Tetapi kenyataannya, sejak orang Siak datang di Riau, terutama setelah kubu mereka rampung, bentrok antara orang Siak dan Orang Bugis makin meningkat. Keamanan rawan, rakyat resah dan hidup makin susah. Perdagangan lesu, pedagang dari daerah lain enggan ke Riau. Yang Dipertuan Muda memerintahkan Anre Guru dan Ponggawa membongkar kubu-kubu orang Siak. Tetapi mereka mendapat perlawanan.

Opu Daeng Cellak menghadap Raja Sulaiman dan Yang Tuan Muda Opu Daeng Marewah dengan perasaan marah, supaya diperkenankan menyerang orang Siak dan permintaannya direstui. Raja Kecil dikirimi surat untuk menentukan hari peperangan. Sambil menunggu jawaban, Opu Daeng Cellak membangun kubu-kubu

Raja Kecil setuju. Pada hari yang ditentukan, pagi itu, Opu Daeng Cellak sarapan bersama di rumah yang sama dengan Raja Kecil, kemudian bersama-sama pula meninggalkan rumah. Di medan pertempuran, mereka berpisah, berjalan sendiri-sendiri menuju kubu masing-masing untuk kemudian berhadapan di medan perang.

Menjelang adzan magrib, genderang jedah perang ditabuh dan perang dihentikan. Orang Siak tetap dikubunya dan sebagian besar orang Bugis kembali ke rumah dan sebagian besar tinggal menjaga kubu. Opu Daeng Cellak dan Raja Kecil pulang beriringan ke rumah yang sama, makan bersama dan kemudian tidur di rumah yang sama, disamping isteri mereka masing-masing.

Perang dan hal seperti ini berlangsung beberapa hari. Banyak orang Bugis yang mati, tetapi orang Siak lebih banyak. Orang Siak sakit hati, bukan karena kematian di pihaknya, tetapi karena orang Bugis bergantian pulang ke rumahnya dan tidur bersama isteri mereka masing-masing, begitu juga Raja Kecik dan Opu Daeng Cellak. Sedang orang Siak tidur di kubu, jauh dari anak dan isteri.

Keesokan harinya, orang Siak kaget. Perahu-perahu armada Riau, penuh dengan pasukan Bugis, berjejer sepanjang sungai dibelakang mereka. Dan kubu-kubu orang Bugis di darat, semakin banyak. Panglima dan orang-orang besar pasukan Siak berunding dan memutuskan, Raja Kecil harus tinggal bersama mereka kalau perang hendak diteruskan. Kalau tidak, mereka akan pulang ke Siak

Keesokan harinya lagi, sebelum genderang perang di tabuh, Panglima dan orang-orang besar Siak menyampaikan keputusan mereka kepada Raja Kecil.
“Saya kasihan meninggalkan istri saya, dan tidur di kubu, sementara saya berada didaratan Riau. Lagi pula, di rumah saya sempat memikirkan muslihat untuk mengalahkan orang Bugis dan mengacaukan Riau“, Jawab Raja Kecil, lalu kembali ke rumah isterinya. Jawaban itu tidak menyenangkan orang Siak.
“Isteri sendiri dipikirkan, isetri kita tidak. Negeri orang dikacaukan, negeri sendiri ditinggalkan. Kalau Raja sudah berpikir seperti ini, tidak pantas lagi dipatuhi” pikir mereka.

Di rumah, Raja Kecil berpikir dan memutuskan meninggalkan Riau. Tidak mungkin lagi mengalahkan orang Bugis, karena mental orang Siak sudah jatuh. Keesokan harinya, Tengku Kamariah, isteri Raja Kecil, disuruh menyampaikan keputusannya kepada Opu Daeng Cellak.
“Kalau Raja Kecil hendak membawa adinda ke Siak, itu urusan suami isteri, kita tidak bisa campuri. Tetapi, kalau mau berdamai, ada tiga syarat. Pertama,

kubu orang Siak, harus dihancurkan. Kedua, Raja Kecil harus bersumpah di mesjid, tidak akan menghianati lagi Riau. Yang ketiga, semua orang Johor yang diambil Raja Kecil ketika menyerang Johor, harus dikembalikan semua. Salah satu diantara tiga syarat itu tidak dipenuhi, tidak akan ada perdamaian dan hari ini saya hancurkan Raja Kecil dengan semua pasukannya. Saya sudah jemu memberi hati kepadanya” kata Opu Daeng Cellak kepada Tengku Kamariah, ketika menyampaikan keputusan suaminya.

Selesai mengucapkan itu, muncul Tengku Tengah, isteri Opu Daeng Parani. Rupanya, semua pembicaraan itu didengarnya.
“Janganlah percaya kepada Raja Kecil pembohong dan sirik itu. Ia tidak pernah berhenti membuat kita susah. Negeri orang ramai, dikacaukannya“ kata Tengku Tengah dengan marah.

Tengku Mandak, isteri Opu Daeng Cellak, berusaha menenangkan Tengku Tengah.
“Adik kita hendak dibawa ke Siak dan dijadikan ratu di sana“ kata Tengku Mandak.
Tetapi Tengku Tengah belum reda marahnya.
“Pantaslah berseri-seri wajah isteri raja culas ini. Rupanya hendak dijadikan Tengku Puan, Tengku Agung”

Tengku Kamariah hendak berdiri. Ia tidak tahan mendengar kemarahan Tengku Tengah, tetapi dicegah. Tengku Mandak khawatir Tengku Tengah akan bertambah marah, kalau Tengku Kamariah meninggalkannya, sementara masih bicara.

Raja Kecil menyetujui tiga syarat perdamaian itu. Raja Sulaiman, Yang Tuan Muda Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cellak, dan semua petinggi Riau, hadir di mesjid. Raja Kecil terlambat sampai di Masjid, sehingga orang gelisah menunggunya dan menduga Raja Kecil menghianati kesepakatan.

Akhirnya Raja Kecil dengan isteri dan Panglimanya muncul juga. Upacara pengambilan sumpah segera dilaksanakan. Raja Kecil mengucapkan sumpah sambil menjunjung Qur’an.

“Demi Allah, demi Rasul, saya bersumpah tidak akan mengkhianati lagi Johor dan Riu, serta akan memulangkan semua orang Johor yang ada dalam tangan saya. Kalau saya melanggar sumpah ini, saya akan kuwalat”

Sesudah mengucapkan sumpah, pesta makan pun diadakan. Pesta belum usai, Raja Kecil pamit kepada Raja Sulaiaman, akan pulang ke Siak lebih dahulu, mempersiapkan penyambutan. Tengku Kamariah akan dijemput kemudian.
“Sangatlah janggal seorang calon permaisuri tidak disambut besar-besaran. Karena itu, saya pulang lebih dulu. Kalau sudah selesai, saya akan kemari menjemput Tengku Kamariah“ kata Raja Kecil.

Keesokan harinya, Raja Kecil beserta pasukannya meninggalkan Riau. Raja Sulaiman, Yang Tuan Muda Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cellak, para petinggi dan isteri-isteri mereka berkumpul di dermaga, mengantar kepergiannya.

Perahu Raja Kecil perlahan meninggalkan Riau, diantarkan dengan perasaan damai oleh orang Bugis dan orang Riau. Tetapi Raja Kecil masih berusaha berbuat khianat. Anak buahnya diperintahkan mempersiapkan meriam untuk menembak orang-orang di dermaga. Untung saja, sebelum meriam di tembakkan, muncul perahu-perahu Bugis yang diperintahkan mengawal kepergian Raja Kecil. Akhirnya Raja Kecil sampai di laut, tanpa punya kesempatan melaksanakan niat buruknya.

Riau kembali ramai. Perdagangan berkembang merata dan rakyat makmur kembali, pertanian berkembang pesat dengan penanaman gambir yang mengundang banyak pembeli, baik dari Calcutta maupun dari negara-negara lain. Sebaliknya, jauh di Siak, Raja Kecil kembali syirik memikirkan perkembangan di Riau. Dendamnya kepada 5 Opu Daeng kembali membara dan merencanakan lagi penyerangan. Penasihat, Hulubalang, dan Panglimanya menyarankan supaya mengurungkan niat, karena ia sudah bersumpah. Apalagi lagi isterinya, Tengku Kamariah, ada di Riau.
“Kalau dedam tidak terhankan lagi, sebaiknya Tengku Kamariah dijemput dulu, sebab bisa jadi penghalang. 5 Opu Daeng bisa mempergunakannya sebagai perisai kalau terdesak” nasihat Panglima Raja Siak.

Dengan lima buah perahu kakap, berangkatlah Raja Kecil ke Riau dan segera menghadap Raja Sulaiman dan menyampaikan keinginannya untuk membawa isterinya ke Siak. Ia merencanakan isterinya dijadikan ratu dan anaknya dipersiapakan untuk menggantikan dirinya sebagai Raja Siak.

Raja Sulaiman, Yang Tuan Muda Opu Daeng Marewah, dan Daeng Cellak, setuju. Tetapi selama di Riau, diam-diam Raja Kecil memerintahkan beberapa orang anak buahnya mengamati kelemahan dan kekuatan Riau.

Beberapa hari setelah persetujuan diperoleh, barang - barang Tengku Kamariah diangkut ke perahu. Sementara itu, mereka pamit ke tempat saudara-saudaranya. Terakhir, mereka menghadap Raja Sulaiman dan pamit.

Di Negeri Siak, Raja Kecil, mempersiapkan alat-alat perang, perahu, dan pasukan untuk menyerang Riau. Setelah itu, dengan jumlah terbesar selama ini, Raja Kecil berlayar ke Pulau Bayan. Di sana ia mempersiapkan penyerangan ke Riau.

Raja Sulaiman berembuk dengan Yang Dipertuan Muda dan Opu Daeng Cellak, membicarakan kedatangan Raja Kecil dengan pasukan yang lebih besar dari yang dulu-dulu. Rembukan memutuskan mengirim Ponggawa menyelidiki maksud kedatangan Raja Kecil.

Di Pulau Bayan, seperti yang diperintahkan Yang Tuan Muda, penyelidik memperingatkan Raja Kecil tentang sumpah yang pernah diucapakannya. Tetapi Raja Kecil tidak bergeming. Ia seperti tidak mendengar ucapan utusan Raja Sualaiman yang mengingatkan akan sumpah yang pernah dia ucapkan dalam mesjid sambil menjunjung Qur’an. Bahkan, ia sengaja memperlihatkan kesibukannya memimpin paukannya membuat kubu-kubu pertahanan. Opu Daeng Cellak sangat berang mendengar laporan hasil penyelidikan Ponggawa.
“Orang ini tidak bisa lagi dikasihati. Kali ini, harus dihantam habis-habisan. Kelicikannya membedil dari belakang menyebabkan kakak kita Opu Daeng Parani tewas. Sekarang, sudah saatnya kita menghabiskan kelicikannya dan membalaskan dendam kita dalam peperangan,” kata Opu Daeng Cellak.


Raja Sulaiman dan Yang Dipertuan Muda, setuju. Opu Daeng Cellak mengumpulkan perahu Padewakkan dan ratusan sampan. Pada malam hari sampan diturunkan di selat yang luas, lalu menyusup masuk ke Pulau Bayan dan menyelinap naik kedarat. Keesok harinya, pasukan Bugis yang menyelinap di darat, menyerang kubu-kubu. Diserang mendadak dari jarak dekat, pasukan Raja Siak lari ke laut dan berenang ke perahu. Senjata mereka dirampas.

Melihat amukan orang Bugis, Raja Kecil memerintahkan pasukan perahunya kembali ke darat. Tetapi pasukannya di darat sudah terdesak dan lari ke laut, lalu berenang ke perahu mereka. Pasukan perahu Raja Kecil yang merapat untuk membantu kawannya di darat, terjepit dari dua arah. Ke darat, ditembak dari darat. Ke laut, diserang perahu orang Bugis.

Diserang dari darat dan laut, perahu dan pasukan Raja Kecil kacau balau. Raja Kecil sendiri meninggalkan perahu besarnya, lari ke Tanjung Pinang dengan mendayung sampan kecil. Dari sana ia kembali ke Siak dan tak pernah lagi kembali sampai akhir hayatnya.

Raja Sulaiman, pejabat dan isteri-isterinya beserta rakyat Riau menyambut Opu Daeng Marewah dan Opu Daeng Cellak beserta pasukannya di pelabuhan. Malam harinya, Opu-Opu dimandikan air tolak bala lalu diadakan pesta tanda syukur. Doa mohon selamat untuk hari-hari mendatang dipanjatkan kekhadirat Allah Subhaanahu Wata’alaa.

Selasa, 24 Agustus 2010

KEHADIRAN ORANG BUGIS DALAM SEJARAH NUSANTARA

Kata pengantar

Tulisan ini mencoba untuk merajut kembali kehadiran orang Bugis, dalam mengukir sejarah nusantara. Hal ini tidak dimaksudkan untuk memperlihatkan unsur egosentris, atau unsur superior, maupun inferior terhadap budaya suku lain atau bangsa lain. Tulisan ini hanya sekedar untuk mengingatkan kembali orang orang Bugis, atau keturunan Bugis, untuk merenungi,apakah kita, masih merasa memiliki budaya. Karena fenomena kehidupan sekarang,dimana generasi muda Bugis , jangankan bisa membaca aksara Bugis,berbahasa Bugis pun sebahagian besar sudah tidak bisa, apalagi orang Bugis yanghidup di kota, walaupun kedua orang tuanya adalah Orang Bugis totok. Generasi sekarang sepertinya tidak mau tahu apa itu Budaya dan Adat Istiadat atau suku bangsa, katakanlah apa itu suku Bugis, mereka hanya tahu Bugis itu adalah sebuah nama Suku, Disisi lain, sedang kita melihat fenomena hidup sementara berjalan. Pergerakan teknologi, yang semakin maju, telah memberikan dampak terhadap perubahan pada peradaban manusia. Makna hidup dan kehidupan sepertinya tidak lagi,menjadi sesuatu, yang aktual untuk dapat dijadikan sebagai bahan kajian, yang perlu untuk diformulasikan ,sebagai bentuk yang dapat dipedomani dalam berbagai aspek kehidupan. Pergerakanmanusia dalam aktifitasnya, menuju ruang dimensi tanpa batas (world borderless) kini telah menjadi kian nyata. Perjalanan kehidupan manusia, dari kurun waktu ke waktu telah melahirkan lapis hidup yang semakin penuh dengan sekat sekat,yang berjalan berlawanan arah dengan lapis fasilitas hidup pada ruang dimensi tanpa batas.

Lalu kemudian beberapa komponen bangsa yang masih tetap setia menjunjung tinggi nilai nilai moral bersendikan budaya leluhur sepertinya baru sadar, bahwa pengaruh globalisasi bukan hanya padasector ekonomi tapi juga pada tatanan sendi sendi kehidupan social, dimana hegemoni budaya dari luar yang datang begitu dahsyat, bagaikan banjir yang menghanyutkan moral, dan budaya bangsa ini. Sehingga generasi sekarang sepertinya sudah tidak memiliki lagi pegangan. Dan hal ini akan menimbulkan pertanyaan dikemudian hari ketika mereka sadar bahwa selama ini mereka tidakmempunyai pegangan, dan mencoba bertanya, karena mereka ingin mendapatkan jatidirinya, namun jatidirinya telah berpindah kepelukan bangsa lain. lalu kemudian ia akan mengutuk pendahulunya karena pendahulunya tidak berhasil atau gagal mewariskan nilai budaya itu.. Ini tidak menutup kemungkinan.

Karena sekarangpun, orang tua yang masih hidup di jaman ini, khususnya Orang Bugis,atau orang yang yangbangga dengan kebugisannya mungkin akan merasa tersinggung bila mendengar pernyataan seorang wanita berkebangsaan Amerika ahli Anthropologi Budaya Bugis,ketika ia datang ke Sulawesi Selatan,untuk melihat orang Bugis yang selama ini hanya ia kenal lewat buku, lalu kemudian sang anthropologi mengambil kesimpulan dan menyatakan bahwa, Suku Bugis yang saya pelajari dan kenal dari buku rupanya telah tidak ada lagi, yang ada hanya tinggal nama. Hal ini disampaikan oleh Prof. DR. Mr. Andi Zainal Abidin Farid.

Apa yang disampaikan oleh sang ahli Anthropologi budaya bugis tersebut, disamping dapat mengundang rasa malu dan melukai rasa harga diri sebagai orang bugis, juga dapat dijadikan sebagai bahan instropeksi sekaligus sebuah tantangan untuk disikapi. Sebagai bentuk apresiasi dari pernyataan itu, Marilah kita kembali menelaah sejarah perjalanan hidup orang bugis di Nusantara ini, karena tentunya banyak hal hal bermanfaat yang dapat dipetik didalamnya.

SEJARAH ORANG BUGIS MEMBANGUN SINGAPURA.

Jaringan perdangan yang sangat kompak yang dijalin orang Bugis diseluruh kawasan Nusantara, terdapat pula jalur perdagangan International,lewat berbagai pelabuhan.Pelabuhan paling penting adalah entreport (Pusat niaga pantai)yang mereka dirikan awal abad ke18 di kepulauan Riau yang strategis. Pada lokasi yang tidak terjangkau oleh campur tangan asing. Mereka melakukan bisnis dengan bebas, dengan mudah menyaingi Belanda di Malaka. Menurut Curtin, mereka,

"dengan mudah memenangkan persaingan harga dengan Belanda yang memiliki kebijakan jangka panjang unit profit (laba perbarang) tinggi dengan turn over (jumlahpenjualan) rendah. Ketika Belanda memutuskan untuk menduduki Riau pada tahun1784, tujuan utama adalah untuk menghentikan orang Bugis yang menguasai perdagangan. (Nahuijs,Brieven 71).

Ketika pertarungan politik dan militer antara pemerintahan gabungan Melayu-Bugis yang dikenal dengan Kerajaan Johor, melawan Kerajaan Belanda berakhir pada 10Nopember 1874, dengan lahirnya perjanjian Tractaat van altos Durende Getrouwe Vriend en Bondgenootschap, yang ditanda tangani J.P van Bram wakil kerajaan Belanda, dan pihak Kerajaan Johor diwakili oleh Raja Bendahara, Raja Temenggung dan Raja Bungsu. Praktis seluruh peranan etnis Bugis di semenanjung dan Kerajaan Riau berakhir. Seluruh etnik Bugis Makassar tidak diperkenankan oleh pemerintahan Belanda memangku jabatan politik. Dengan demikian secara formal telah menjadi kelompok social yang dicabut haknya, sebagai manusia merdeka. Derajat mereka diturunkan menjadi kelompok pribumi class dua. Padahal ketika Kerajaan Johor dibangun pada tahun1772, kelompok etnik Bugis, itulah yang dan sekaligus merupakan pengawal kedaulatan Kerajaan Johor. Oleh karena itu "Political Power" secara turun temurun berada pada etnik Bugis. Namun perkembangan sejarah mencatat lain.

Belanda dengan kekuatan militer yang jauh lebih kuat, berhasil memukul kekuatan Militer Bugis di Kepulauan Riau dan Semenanjung.

Bagaimana sikap etnik Bugis menghadapai perlakuan pemerintah Belanda yang tidak adil itu?Apakah ia menerima kenyatan itu dengan pasrah kepada siklus nasib?, menjadi budak Belanda dan kehilangan martabat serta harga dirinya?. Fakta dan kesaksian sejarah berikut ini memberi jawaban atas semua itu.

Pada akhir abad ke 17 selepas perjanjian Tractaat van Altoos Getrouwe Vriend en Bondgenootschap, dua kelompok besar keturunan Bugis, masing masing dipimpinoleh Tok Awaluddin dan Tok Srilah, berlayar dengan perahu Bugis meninggalkan Riau menuju daratan Semenanjung" Kepergian mereka merupakan protes langsung terhadap kerajaan Belanda, yang menjadikan mereka sebagai golongan masyarakat nomor dua. Tapi kiranya yang disimak adalah tindakan mereka itu, adalahl anjutan bentuk perlawanan terhadap Belanda, seperti yang dilakukan leluhur mereka pada abad XVII yang telah meninggalkan Sulawesi Selatan, karena tidak mau dijajah oleh Belanda.

Rombongan Tok Awaluddin dan Tok Srilah akhirnya tiba dikawasan Penajis, Rembau, Negeri Sembilan. Menurut Gullick, kelompok orang Bugis dengan maksud damai untuk memulai kehidupan baru, lepas dari tekanan politik Belanda. Namun dikawasan ini mereka menghadapi masalah adat dengan Minangkabau, yang lebih dahulu berdomisili dikawasan itu. Kemudian terjadilah konflik adat antara etnik Bugis dengan etnik Minangkabau. Pasalnya etnik Minangkabau yang menganut budaya "Matrileneal" atau adat Perpatih, berusaha memaksakan adat yang dianutnya dalam kehidupan social etnik Bugis. Perlakuan ini ditolak oleh kelompok Bugis.Sebab walaupun bagaimana mereka adalah kelompok yang juga telah memiliki adat yang telah mapan dan telah manunggal dalam hidup dan kehidupan mereka. Karenai tu mereka berusaha supaya tidak ditelan oleh adapt Perpatih dan memperlihatkan reaksi yang tegas seperti yang diucapkan Gullick berikut ini,



"They came in piece but they can hardly havebeen popular, Kampong Penajis was a stronghold of Minangkabau feeling, to whichRaja Melawar had comeon his first arrival in Negeri Sembilan five years before. There was a long traditionof hostitlity between the Bugis abd the Sumatera Malays wich was exacerbartedby the difference in their customs. On occasion the bugis married relatives ontheir mothers side (nikah beranak ibu atau sepupu) which was incest among theminagkabau communities,so dato' awalu'din and his partly decided to move awayto a settlement

Ontheir own.



Dari kampong penajis,rembau, dua kelompok etnis bugis, makassar itu mencari kawasan baru yang lepas dari intervensi adat lain.akhirnya Tok Awaluddin,Tok Srilah dan anak buahnya sampai di kawasan linggi.(Singapura) setelah mempelajari kondisi kawasan, mereka memutuskan untuk menetap di linggi. Pada waktu kelompok manusia bugis makassar itu tiba, kawasan linggi masih merupakan hutan "perawan". Sungai-sungainya masih penuh ilalang dan belum dapat dilayari kapal atau perahu. Kecuali itu, manusialain atau kelompok etnis lain,belum pernah ada yang bermukim di kawasan ini.jadi,Tok Awaluddin dan Tok Srilah beserta anak buahnya yg pertama kali mendiami kawasan linggi. Hutan yang lebat mereka buka,sungai linggi yg penuh ilalang, mereka bersihkan dan kemudian membangun perkampungan baru dan akhirnyamembentuk masyarakat bugis,makassar yang baru di linggi.

Pada tahun 1800, kawasan linggi praktis telah berjaya dibangun oleh etnis Bugis,menjadi sebuah kawasan otonom atau mempunyai hak menetukan diri sendiri,termasuk system budayanya yang sepenuhnya berorientasi kepada adat leluhur mereka, di Sulawesi Selatan. Kelompok etnik Bugis Makassar yang bermukim di Linggi itu, merupakan "kotak" kebudayaan Bugis yang hidup dan berkembang di Semenanjung.

Kemudian pada awal abad XIX, Linggi yang berada dibawah pimpinan Juragan Abdul Rahmantelah muncul sebagai kawasan yang memegang peranan dalam bidang perdagangan.Mereka manusia Bugis tampil menjadi pengusaha pengsusaha Timah yang memiliki monopoli perdagangan . Kawasan Linggi merupakan tempat yang sangat strategis dikawasan Sungai Ujong yang sekaligus dapat behubungan langsung dengan selat Melaka. Setelah fungsinya tida ksaja sebagai pusat perdagangan , tetapi juga merupakan pusat perdagangan barter, Newbold melukiskan posisi Linggi sebagai berikut,



"The trade of sungai Ujong is prinscipally in tin, wich is got at Sala, Maraboh,Battu Labong, Kayu Arra, ang Tamong. Thence it is brought down to linggie, and landed at Pacalangs Cundang, Durian and Manggis. It is here deposited in warehouse sand generally bartered for rice, opium, salt,tobacco, clothes, oil and shellsfor making line brought uo be boats. From one half and a half coyansthen, wich cannot easily ascend higher than this part of the river.

Usaha perdagangan yang telah berjaya dilakukan oleh Juragan Abdul Rahman dilanjutkan kemudian oleh Moh.Attas. Pada masa inilah kawasan linggi dengan masyarakat Bugisnya, mencapai kejayaan dalam perdagangan. Para pedagang Cina barat yang berdomisili di Melaka melakukan hubungan bilateral dengan parapenguasa Bugis di Semenanjung. Menurut Khoo Kay Kim, dimasa itu ada sekitar 1000 orang Cina bekerja di pertambangan timah yang secara langsung tergantung hidupnya pada penguasa Linggi " Kemudian hubungan perdagangan dengan kapitalis Cina dan Eropa di Melaka telah terjalin dengan baik. Mereka itu adalah perusahan : Neubronner &co, Keluarga Velge, Khoo Seng Hoon, See Boon Tho,Yeo Hood Hin, Lee Qui Lin dan lain lain.

Kejayaan penguasa Linggi,menyebabkan kawasan yang dahulunya tidak dikenal di semenanjung, menjadi terkenal dan diperhitungkan . Manusia Bugis pemilik kawasan ini membentuk unit politik , dan kekuatan Militer untuk mengontrol perdagangan mereka, yang dimpin oleh Datuk Panglima perang, dan datuk Laksamana, Semua pembiayaan organisasid itanggung sendiri oleh penguasa Linggi. Karena itu manusia Bugis di Linggi tidak saja disegani oleh jiran jirannya, tapi diperhitungkan kekuatan Militernya. Dan jatuhnya Linggi, tidak oleh kekalahan persaingan perdagangan,tapi oleh kekuatan British yang mulai bertapak di Semenanjung pada akhir abad XIX. ( Ditulis oleh Prof.Dr, Hamid Abdullah)