Kata pengantar
Tulisan ini mencoba untuk merajut kembali kehadiran orang Bugis, dalam mengukir sejarah nusantara. Hal ini tidak dimaksudkan untuk memperlihatkan unsur egosentris, atau unsur superior, maupun inferior terhadap budaya suku lain atau bangsa lain. Tulisan ini hanya sekedar untuk mengingatkan kembali orang orang Bugis, atau keturunan Bugis, untuk merenungi,apakah kita, masih merasa memiliki budaya. Karena fenomena kehidupan sekarang,dimana generasi muda Bugis , jangankan bisa membaca aksara Bugis,berbahasa Bugis pun sebahagian besar sudah tidak bisa, apalagi orang Bugis yanghidup di kota, walaupun kedua orang tuanya adalah Orang Bugis totok. Generasi sekarang sepertinya tidak mau tahu apa itu Budaya dan Adat Istiadat atau suku bangsa, katakanlah apa itu suku Bugis, mereka hanya tahu Bugis itu adalah sebuah nama Suku, Disisi lain, sedang kita melihat fenomena hidup sementara berjalan. Pergerakan teknologi, yang semakin maju, telah memberikan dampak terhadap perubahan pada peradaban manusia. Makna hidup dan kehidupan sepertinya tidak lagi,menjadi sesuatu, yang aktual untuk dapat dijadikan sebagai bahan kajian, yang perlu untuk diformulasikan ,sebagai bentuk yang dapat dipedomani dalam berbagai aspek kehidupan. Pergerakanmanusia dalam aktifitasnya, menuju ruang dimensi tanpa batas (world borderless) kini telah menjadi kian nyata. Perjalanan kehidupan manusia, dari kurun waktu ke waktu telah melahirkan lapis hidup yang semakin penuh dengan sekat sekat,yang berjalan berlawanan arah dengan lapis fasilitas hidup pada ruang dimensi tanpa batas.
Lalu kemudian beberapa komponen bangsa yang masih tetap setia menjunjung tinggi nilai nilai moral bersendikan budaya leluhur sepertinya baru sadar, bahwa pengaruh globalisasi bukan hanya padasector ekonomi tapi juga pada tatanan sendi sendi kehidupan social, dimana hegemoni budaya dari luar yang datang begitu dahsyat, bagaikan banjir yang menghanyutkan moral, dan budaya bangsa ini. Sehingga generasi sekarang sepertinya sudah tidak memiliki lagi pegangan. Dan hal ini akan menimbulkan pertanyaan dikemudian hari ketika mereka sadar bahwa selama ini mereka tidakmempunyai pegangan, dan mencoba bertanya, karena mereka ingin mendapatkan jatidirinya, namun jatidirinya telah berpindah kepelukan bangsa lain. lalu kemudian ia akan mengutuk pendahulunya karena pendahulunya tidak berhasil atau gagal mewariskan nilai budaya itu.. Ini tidak menutup kemungkinan.
Karena sekarangpun, orang tua yang masih hidup di jaman ini, khususnya Orang Bugis,atau orang yang yangbangga dengan kebugisannya mungkin akan merasa tersinggung bila mendengar pernyataan seorang wanita berkebangsaan Amerika ahli Anthropologi Budaya Bugis,ketika ia datang ke Sulawesi Selatan,untuk melihat orang Bugis yang selama ini hanya ia kenal lewat buku, lalu kemudian sang anthropologi mengambil kesimpulan dan menyatakan bahwa, Suku Bugis yang saya pelajari dan kenal dari buku rupanya telah tidak ada lagi, yang ada hanya tinggal nama. Hal ini disampaikan oleh Prof. DR. Mr. Andi Zainal Abidin Farid.
Apa yang disampaikan oleh sang ahli Anthropologi budaya bugis tersebut, disamping dapat mengundang rasa malu dan melukai rasa harga diri sebagai orang bugis, juga dapat dijadikan sebagai bahan instropeksi sekaligus sebuah tantangan untuk disikapi. Sebagai bentuk apresiasi dari pernyataan itu, Marilah kita kembali menelaah sejarah perjalanan hidup orang bugis di Nusantara ini, karena tentunya banyak hal hal bermanfaat yang dapat dipetik didalamnya.
SEJARAH ORANG BUGIS MEMBANGUN SINGAPURA.
Jaringan perdangan yang sangat kompak yang dijalin orang Bugis diseluruh kawasan Nusantara, terdapat pula jalur perdagangan International,lewat berbagai pelabuhan.Pelabuhan paling penting adalah entreport (Pusat niaga pantai)yang mereka dirikan awal abad ke18 di kepulauan Riau yang strategis. Pada lokasi yang tidak terjangkau oleh campur tangan asing. Mereka melakukan bisnis dengan bebas, dengan mudah menyaingi Belanda di Malaka. Menurut Curtin, mereka,
"dengan mudah memenangkan persaingan harga dengan Belanda yang memiliki kebijakan jangka panjang unit profit (laba perbarang) tinggi dengan turn over (jumlahpenjualan) rendah. Ketika Belanda memutuskan untuk menduduki Riau pada tahun1784, tujuan utama adalah untuk menghentikan orang Bugis yang menguasai perdagangan. (Nahuijs,Brieven 71).
Ketika pertarungan politik dan militer antara pemerintahan gabungan Melayu-Bugis yang dikenal dengan Kerajaan Johor, melawan Kerajaan Belanda berakhir pada 10Nopember 1874, dengan lahirnya perjanjian Tractaat van altos Durende Getrouwe Vriend en Bondgenootschap, yang ditanda tangani J.P van Bram wakil kerajaan Belanda, dan pihak Kerajaan Johor diwakili oleh Raja Bendahara, Raja Temenggung dan Raja Bungsu. Praktis seluruh peranan etnis Bugis di semenanjung dan Kerajaan Riau berakhir. Seluruh etnik Bugis Makassar tidak diperkenankan oleh pemerintahan Belanda memangku jabatan politik. Dengan demikian secara formal telah menjadi kelompok social yang dicabut haknya, sebagai manusia merdeka. Derajat mereka diturunkan menjadi kelompok pribumi class dua. Padahal ketika Kerajaan Johor dibangun pada tahun1772, kelompok etnik Bugis, itulah yang dan sekaligus merupakan pengawal kedaulatan Kerajaan Johor. Oleh karena itu "Political Power" secara turun temurun berada pada etnik Bugis. Namun perkembangan sejarah mencatat lain.
Belanda dengan kekuatan militer yang jauh lebih kuat, berhasil memukul kekuatan Militer Bugis di Kepulauan Riau dan Semenanjung.
Bagaimana sikap etnik Bugis menghadapai perlakuan pemerintah Belanda yang tidak adil itu?Apakah ia menerima kenyatan itu dengan pasrah kepada siklus nasib?, menjadi budak Belanda dan kehilangan martabat serta harga dirinya?. Fakta dan kesaksian sejarah berikut ini memberi jawaban atas semua itu.
Pada akhir abad ke 17 selepas perjanjian Tractaat van Altoos Getrouwe Vriend en Bondgenootschap, dua kelompok besar keturunan Bugis, masing masing dipimpinoleh Tok Awaluddin dan Tok Srilah, berlayar dengan perahu Bugis meninggalkan Riau menuju daratan Semenanjung" Kepergian mereka merupakan protes langsung terhadap kerajaan Belanda, yang menjadikan mereka sebagai golongan masyarakat nomor dua. Tapi kiranya yang disimak adalah tindakan mereka itu, adalahl anjutan bentuk perlawanan terhadap Belanda, seperti yang dilakukan leluhur mereka pada abad XVII yang telah meninggalkan Sulawesi Selatan, karena tidak mau dijajah oleh Belanda.
Rombongan Tok Awaluddin dan Tok Srilah akhirnya tiba dikawasan Penajis, Rembau, Negeri Sembilan. Menurut Gullick, kelompok orang Bugis dengan maksud damai untuk memulai kehidupan baru, lepas dari tekanan politik Belanda. Namun dikawasan ini mereka menghadapi masalah adat dengan Minangkabau, yang lebih dahulu berdomisili dikawasan itu. Kemudian terjadilah konflik adat antara etnik Bugis dengan etnik Minangkabau. Pasalnya etnik Minangkabau yang menganut budaya "Matrileneal" atau adat Perpatih, berusaha memaksakan adat yang dianutnya dalam kehidupan social etnik Bugis. Perlakuan ini ditolak oleh kelompok Bugis.Sebab walaupun bagaimana mereka adalah kelompok yang juga telah memiliki adat yang telah mapan dan telah manunggal dalam hidup dan kehidupan mereka. Karenai tu mereka berusaha supaya tidak ditelan oleh adapt Perpatih dan memperlihatkan reaksi yang tegas seperti yang diucapkan Gullick berikut ini,
"They came in piece but they can hardly havebeen popular, Kampong Penajis was a stronghold of Minangkabau feeling, to whichRaja Melawar had comeon his first arrival in Negeri Sembilan five years before. There was a long traditionof hostitlity between the Bugis abd the Sumatera Malays wich was exacerbartedby the difference in their customs. On occasion the bugis married relatives ontheir mothers side (nikah beranak ibu atau sepupu) which was incest among theminagkabau communities,so dato' awalu'din and his partly decided to move awayto a settlement
Ontheir own.
Dari kampong penajis,rembau, dua kelompok etnis bugis, makassar itu mencari kawasan baru yang lepas dari intervensi adat lain.akhirnya Tok Awaluddin,Tok Srilah dan anak buahnya sampai di kawasan linggi.(Singapura) setelah mempelajari kondisi kawasan, mereka memutuskan untuk menetap di linggi. Pada waktu kelompok manusia bugis makassar itu tiba, kawasan linggi masih merupakan hutan "perawan". Sungai-sungainya masih penuh ilalang dan belum dapat dilayari kapal atau perahu. Kecuali itu, manusialain atau kelompok etnis lain,belum pernah ada yang bermukim di kawasan ini.jadi,Tok Awaluddin dan Tok Srilah beserta anak buahnya yg pertama kali mendiami kawasan linggi. Hutan yang lebat mereka buka,sungai linggi yg penuh ilalang, mereka bersihkan dan kemudian membangun perkampungan baru dan akhirnyamembentuk masyarakat bugis,makassar yang baru di linggi.
Pada tahun 1800, kawasan linggi praktis telah berjaya dibangun oleh etnis Bugis,menjadi sebuah kawasan otonom atau mempunyai hak menetukan diri sendiri,termasuk system budayanya yang sepenuhnya berorientasi kepada adat leluhur mereka, di Sulawesi Selatan. Kelompok etnik Bugis Makassar yang bermukim di Linggi itu, merupakan "kotak" kebudayaan Bugis yang hidup dan berkembang di Semenanjung.
Kemudian pada awal abad XIX, Linggi yang berada dibawah pimpinan Juragan Abdul Rahmantelah muncul sebagai kawasan yang memegang peranan dalam bidang perdagangan.Mereka manusia Bugis tampil menjadi pengusaha pengsusaha Timah yang memiliki monopoli perdagangan . Kawasan Linggi merupakan tempat yang sangat strategis dikawasan Sungai Ujong yang sekaligus dapat behubungan langsung dengan selat Melaka. Setelah fungsinya tida ksaja sebagai pusat perdagangan , tetapi juga merupakan pusat perdagangan barter, Newbold melukiskan posisi Linggi sebagai berikut,
"The trade of sungai Ujong is prinscipally in tin, wich is got at Sala, Maraboh,Battu Labong, Kayu Arra, ang Tamong. Thence it is brought down to linggie, and landed at Pacalangs Cundang, Durian and Manggis. It is here deposited in warehouse sand generally bartered for rice, opium, salt,tobacco, clothes, oil and shellsfor making line brought uo be boats. From one half and a half coyansthen, wich cannot easily ascend higher than this part of the river.
Usaha perdagangan yang telah berjaya dilakukan oleh Juragan Abdul Rahman dilanjutkan kemudian oleh Moh.Attas. Pada masa inilah kawasan linggi dengan masyarakat Bugisnya, mencapai kejayaan dalam perdagangan. Para pedagang Cina barat yang berdomisili di Melaka melakukan hubungan bilateral dengan parapenguasa Bugis di Semenanjung. Menurut Khoo Kay Kim, dimasa itu ada sekitar 1000 orang Cina bekerja di pertambangan timah yang secara langsung tergantung hidupnya pada penguasa Linggi " Kemudian hubungan perdagangan dengan kapitalis Cina dan Eropa di Melaka telah terjalin dengan baik. Mereka itu adalah perusahan : Neubronner &co, Keluarga Velge, Khoo Seng Hoon, See Boon Tho,Yeo Hood Hin, Lee Qui Lin dan lain lain.
Kejayaan penguasa Linggi,menyebabkan kawasan yang dahulunya tidak dikenal di semenanjung, menjadi terkenal dan diperhitungkan . Manusia Bugis pemilik kawasan ini membentuk unit politik , dan kekuatan Militer untuk mengontrol perdagangan mereka, yang dimpin oleh Datuk Panglima perang, dan datuk Laksamana, Semua pembiayaan organisasid itanggung sendiri oleh penguasa Linggi. Karena itu manusia Bugis di Linggi tidak saja disegani oleh jiran jirannya, tapi diperhitungkan kekuatan Militernya. Dan jatuhnya Linggi, tidak oleh kekalahan persaingan perdagangan,tapi oleh kekuatan British yang mulai bertapak di Semenanjung pada akhir abad XIX. ( Ditulis oleh Prof.Dr, Hamid Abdullah)
Saya bangga menjadi putra suku Bugis salah satu suku yang mendunia
BalasHapus